Saudariku…
Seorang mukmin dengan mukmin lain ibarat cermin. Bukan cermin yang memantulkan bayangan fisik, melainkan cermin yang menjadi refleksi akhlak dan tingkah laku. Kita dapat mengetahui dan melihat kekurangan kita dari saudara seagama kita. Cerminan baik dari saudara kita tentulah baik pula untuk kita ikuti. Sedangkan cerminan buruk dari saudara kita lebih pantas untuk kita tinggalkan dan jadikan pembelajaran untuk saling memperbaiki.
Seorang mukmin dengan mukmin lain ibarat cermin. Bukan cermin yang memantulkan bayangan fisik, melainkan cermin yang menjadi refleksi akhlak dan tingkah laku. Kita dapat mengetahui dan melihat kekurangan kita dari saudara seagama kita. Cerminan baik dari saudara kita tentulah baik pula untuk kita ikuti. Sedangkan cerminan buruk dari saudara kita lebih pantas untuk kita tinggalkan dan jadikan pembelajaran untuk saling memperbaiki.
Saudariku…
Tentu engkau sudah mengetahui bahwa Islam mengajarkan kita untuk saling mencintai. Dan salah satu bukti cinta Islam kepada kita –kaum wanita– adalah perintah untuk berjilbab. Namun, kulihat engkau masih belum mengambil “kado istimewa” itu. Kudengar masih banyak alasan yang menginap di rongga-rongga pikiran dan hatimu setiap kali kutanya,
“Kenapa jilbabmu masih belum kau pakai?” Padahal sudah banyak waktu kau luangkan untuk mengkaji ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang perintah jilbab. Sudah sekian judul buku engkau baca untuk memantapkan hatimu agar segera berjilbab. Juga ribuan surat cinta dari saudarimu yang menginginkan agar jilbabmu itu segera kau kenakan. Lalu kenapa, jilbabmu masih terlipat rapi di dalam lemari dan bukan terjulur untuk menutupi dirimu?
Mengapa Harus Berjilbab?
Mungkin
aku harus kembali mengingatkanmu tentang alasan penting kenapa Allah Subhanahu
wa Ta’ala menurunkan perintah jilbab kepada kita –kaum Hawa- dan bukan kepada
kaum Adam. Saudariku,
jilbab adalah pakaian yang berfungsi untuk menutupi perhiasan dan keindahan
dirimu, agar dia tidak dinikmati oleh sembarang orang. Ingatkah engkau ketika
engkau membeli pakaian di pertokoan, mula-mula engkau melihatnya, memegangnya,
mencobanya, lalu ketika kau jatuh cinta kepadanya, engkau akan meminta kepada
pemilik toko untuk memberikanmu pakaian serupa yang masih baru dalam segel.
Kenapa demikian? Karena engkau ingin mengenakan pakaian yang baru, bersih dan
belum tersentuh oleh tangan-tangan orang lain. Jika demikian sikapmu pada
pakaian yang hendak engkau beli, maka bagaimana sikapmu pada dirimu sendiri?
Tentu engkau akan lebih memantapkan ‘segel’nya, agar dia tetap ber’nilai jual’
tinggi, bukankah demikian?
Saudariku,
izinkan aku sedikit mengingatkanmu pada firman Rabb kita ‘Azza wa Jalla berikut
ini,
“Katakanlah
kepada wanita-wanita beriman: ‘Hendaklah mereka menahan pandangan mereka, dan
memelihara kemaluan mereka, dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka
kecuali yang (biasa) nampak daripadanya.'” (Qs. An-Nuur: 31)
Dan
firman-Nya,
“Hai
Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri
orang mukmin, ‘Hendaklah mereka menjulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.’
Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenali, karena itu mereka
tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. Al-Ahzaab: 59)
Saudariku
tercinta, Allah tidak semata-mata menurunkan perintah jilbab kepada kita tanpa
ada hikmah dibalik semuanya. Allah telah mensyari’atkan jilbab atas kaum
wanita, karena Allah Yang Maha Mengetahui menginginkan supaya kaum wanita
mendapatkan kemuliaan dan kesucian di segala aspek kehidupan, baik dia adalah
seorang anak, seorang ibu, seorang saudari, seorang bibi, atau pun sebagai
seorang individu yang menjadi bagian dari masyarakat. Allah menjadikan jilbab
sebagai perangkat untuk melindungi kita dari berbagai “virus” ganas yang
merajalela di luar sana. Sebagaimana yang pernah disabdakan oleh Abul Qasim
Muhammad bin ‘Abdullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang artinya,
“Wanita
itu adalah aurat, jika ia keluar rumah, maka syaithan akan menghiasinya.”
(Hadits shahih. Riwayat Tirmidzi
(no. 1173), Ibnu Khuzaimah (III/95) dan ath-Thabrani dalam Mu’jamul Kabiir (no.
10115), dari Shahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhuma)
Saudariku,
berjilbab bukan hanya sebuah identitas bagimu untuk menunjukkan bahwa engkau
adalah seorang muslimah. Tetapi jilbab adalah suatu bentuk ketaatanmu kepada
Allah Ta’ala, selain shalat, puasa, dan ibadah lain yang telah engkau
kerjakan. Jilbab juga merupakan konsekuensi nyata dari seorang wanita yang
menyatakan bahwa dia telah beriman kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu
‘alaihi wa sallam. Selain itu, jilbab juga merupakan lambang kehormatan,
kesucian, rasa malu, dan kecemburuan. Dan semua itu Allah jadikan baik untukmu.
Tidakkah hatimu terketuk dengan kasih sayang Rabb kita yang tiada duanya ini?
“Aku
Belum Berjilbab, Karena…”
1.
“Hatiku masih belum mantap untuk
berjilbab.
Jika hatiku sudah mantap, aku akan
segera berjilbab. Lagipula aku masih melaksanakan shalat, puasa dan semua
perintah wajib kok..”
Wahai
saudariku…
Sadarkah engkau, siapa yang memerintahmu untuk mengenakan jilbab? Dia-lah
Allah, Rabb-mu, Rabb seluruh manusia, Rabb alam semesta. Engkau telah melakukan
berbagai perintah Allah yang berpangkal dari iman dan ketaatan, tetapi mengapa
engkau beriman kepada sebagian ketetapan-Nya dan ingkar terhadap sebagian yang
lain, padahal engkau mengetahui bahwa sumber dari semua perintah itu adalah
satu, yakni Allah Subhanahu wa Ta’ala?
Seperti
shalat dan amalan lain yang senantiasa engkau kerjakan, maka berjilbab pun
adalah satu amalan yang seharusnya juga engkau perhatikan. Allah Ta’ala telah
menurunkan perintah hijab kepada setiap wanita mukminah. Maka itu berarti bahwa
hanya wanita-wanita yang memiliki iman yang ridha mengerjakan perintah ini.
Adakah engkau tidak termasuk ke dalam golongan wanita mukminah?
Ingatlah
saudariku,
bahwa sesungguhnya keadaanmu yang tidak berjilbab namun masih mengerjakan amalan-amalan
lain, adalah seperti orang yang membawa satu kendi penuh dengan kebaikan akan
tetapi kendi itu berlubang, karena engkau tidak berjilbab. Janganlah engkau
sia-siakan amal shalihmu disebabkan orang-orang yang dengan bebas di setiap
tempat memandangi dirimu yang tidak mengenakan jilbab. Silakan engkau
bandingkan jumlah lelaki yang bukan mahram yang melihatmu tanpa jilbab setiap
hari dengan jumlah pahala yang engkau peroleh, adakah sama banyaknya?
2.
“Iman kan letaknya di hati. Dan yang
tahu hati seseorang hanya aku dan Allah.”
Duhai
saudariku…Tahukah
engkau bahwa sahnya iman seseorang itu terwujud dengan tiga hal, yakni meyakini
sepenuhnya dengan hati, menyebutnya dengan lisan, dan melakukannya dengan
perbuatan?
Seseorang
yang beramal hanya sebatas perbuatan dan lisan, tanpa disertai dengan keyakinan
penuh dalam hatinya, maka dia termasuk ke dalam golongan orang munafik.
Sementara seseorang yang beriman hanya dengan hatinya, tanpa direalisasikan
dengan amal perbuatan yang nyata, maka dia termasuk kepada golongan orang
fasik. Keduanya bukanlah bagian dari golongan orang mukmin. Karena seorang
mukmin tidak hanya meyakini dengan hati, tetapi dia juga merealisasikan apa
yang diyakininya melalui lisan dan amal perbuatan. Dan jika engkau telah
mengimani perintah jilbab dengan hatimu dan engkau juga telah mengakuinya
dengan lisanmu, maka sempurnakanlah keyakinanmu itu dengan bersegera
mengamalkan perintah jilbab.
3. “Aku kan masih muda…”
Saudariku
tercinta… Engkau berkata bahwa usiamu masih belia sehingga menahanmu dari
mengenakan jilbab, dapatkah engkau menjamin bahwa esok masih untuk dirimu?
Apakah engkau telah mengetahui jatah hidupmu di dunia, sehingga engkau berkata
bahwa engkau masih muda dan masih memiliki waktu yang panjang? Belumkah engkau
baca firman Allah ‘Azza wa Jalla yang artinya,
“Kamu
tidak tinggal (di bumi) melainkan sebentar saja, jika kamu sesungguhnya
mengetahui.”
(Qs. Al-Mu’minuun: 114)
(Qs. Al-Mu’minuun: 114)
“Pada
hari mereka melihat adzab yang diancam kepada mereka, (mereka merasa)
seolah-olah tidak tinggal (di dunia) melainkan sesaat pada siang hari. (Inilah)
waktu pelajaran yang cukup.”
(Qs. Al-Ahqaaf: 35)
(Qs. Al-Ahqaaf: 35)
Tidakkah
engkau perhatikan tetanggamu atau teman karibmu yang seusia denganmu atau di
bawah usiamu telah menemui Malaikat Maut karena perintah Allah ‘Azza wa Jalla?
Tidakkah juga engkau perhatikan si fulanah yang kemarin masih baik-baik saja,
tiba-tiba menemui ajalnya dan menjadi mayat hari ini? Tidakkah semua itu
menjadi peringatan bagimu, bahwa kematian tidak hanya mengetuk pintu orang yang
sekarat atau pun orang yang lanjut usia? Dan Malaikat Maut tidak akan memberimu
penangguhan waktu barang sedetik pun, ketika ajalmu sudah sampai. Setiap hari
berlalu sementara akhiratmu bertambah dekat dan dunia bertambah jauh. Bekal apa
yang telah engkau siapkan untuk hidup sesudah mati? Ketahuilah saudariku,
kematian itu datangnya lebih cepat dari detak jantungmu yang berikutnya. Jadi
cepatlah, jangan sampai terlambat…
4. “Jilbab bikin rambutku jadi
rontok…”
Sepertinya
engkau belum mengetahui fakta terbaru mengenai ‘canggih’nya jilbab. Dr.
Muhammad Nidaa berkata dalam Al-Hijaab wa Ta’tsiruuha ‘Ala Shihhah wa Salamatus
Sya’ri tentang pengaruh jilbab terhadap kesehatan dan keselamatan rambut,
“Jilbab
dapat melindungi rambut. Penelitian dan percobaan telah membuktikan bahwa
perubahan cuaca dan cahaya matahari langsung akan menyebabkan hilangnya
kecantikan rambut dan pudarnya warna rambut. Sehingga rambut menjadi kasar dan
berwarna kusam. Sebagaimana juga udara luar (oksigen) dan hawa tidaklah
berperan dalam pertumbuhan rambut. Karena bagian rambut yang terlihat di atas
kepala yang dikenal dengan sebutan batang rambut tidak lain adalah sel-sel kornea
(yang tidak memiliki kehidupan). Ia akan terus memanjang berbagi sama rata
dengan rambut yang ada di dalam kulit. Bagian yang aktif inilah yang
menyebabkan rambut bertambah panjang dengan ukuran sekian millimeter setiap
hari. Ia mendapatkan suplai makanan dari sel-sel darah dalam kulit.
Dari
sana dapat kita katakan bahwa kesehatan rambut bergantung pada kesehatan tubuh
secara umum. Bahwa apa saja yang mempengaruhi kesehatan tubuh, berupa sakit
atau kekurangan gizi akan menyebabkan lemahnya rambut. Dan dalam kondisi
mengenakan jilbab, rambut harus dicuci dengan sabun atau shampo dua atau tiga
kali dalam sepekan, menurut kadar lemak pada kulit kepala. Maksudnya apabila
kulit kepala berminyak, maka hendaklah mencuci rambut tiga kali dalam sepekan.
Jika tidak maka cukup mencucinya dua kali dalam sepekan. Jangan sampai kurang dari
kadar ini dalam kondisi apapun. Karena sesudah tiga hari, minyak pada kulit
kepala akan berubah menjadi asam dan hal itu akan menyebabkan patahnya batang
rambut, dan rambut pun akan rontok.” (Terj. Banaatunaa wal Hijab hal.
66-67)
5. “Kalau aku pakai jilbab, nanti
tidak ada laki-laki yang mau menikah denganku. Jadi, aku pakai jilbabnya nanti
saja, sesudah menikah.”
Wahai
saudariku…
Tahukah engkau siapakah lelaki yang datang meminangmu itu, sementara engkau
masih belum berjilbab? Dia adalah lelaki dayyuts, yang tidak
memiliki perasaan cemburu melihatmu mengobral aurat sembarangan. Bagaimana
engkau bisa berpendapat bahwa setelah menikah nanti, suamimu itu akan ridha
membiarkanmu mengulur jilbab dan menutup aurat, sementara sebelum pernikahan
itu terjadi dia masih santai saja mendapati dirimu tampil dengan pakaian ala
kadarnya? Jika benar dia mencintai dirimu, maka seharusnya dia memiliki
perasaan cemburu ketika melihat auratmu terbuka barang sejengkal saja. Dia akan
menjaga dirimu dari pandangan liar lelaki hidung belang yang berkeliaran di
luar sana. Dia akan lebih memilih dirimu yang berjilbab daripada dirimu yang
tanpa jilbab. Inilah yang dinamakan pembuktian cinta yang hakiki!
Maka,
jika datang seorang lelaki yang meminangmu dan ridha atas keadaanmu yang masih
belum berjilbab, waspadalah. Jangan-jangan dia adalah lelaki dayyuts yang
menjadi calon penghuni Neraka. Sekarang pikirkanlah olehmu saudariku,
kemanakah bahtera rumah tanggamu akan bermuara apabila nahkodanya adalah calon
penghuni Neraka?
6. “Pakai jilbab itu ribet dan
mengganggu pekerjaan. Bisa-bisa nanti aku dipecat dari pekerjaan.”
Saudariku…
Islam tidak pernah membatasi ruang gerak seseorang selama hal tersebut tidak
mengandung kemaksiatan kepada Allah. Akan tetapi, Islam membatasi segala hal
yang dapat membahayakan seorang wanita dalam melakukan aktivitasnya baik dari
sisi dunia maupun dari sisi akhiratnya. Jilbab yang menjadi salah satu syari’at
Islam adalah sebuah penghargaan sekaligus perlindungan bagi kaum wanita,
terutama jika dia hendak melakukan aktivitas di luar rumahnya. Maka dengan
perginya engkau untuk bekerja di luar rumah tanpa jilbab justru akan
mendatangkan petaka yang seharusnya dapat engkau hindari. Alih-alih
mempertahankan pekerjaan, engkau malah menggadaikan kehormatan dan harga dirimu
demi setumpuk materi.
Tahukah
engkau saudariku,
siapa yang memberimu rizki? Bukankah Allah -Rabb yang berada di atas ‘Arsy-Nya-
yang memerintahkan para malaikat untuk membagikan rizki kepada setiap hamba
tanpa ada yang dikurangi barang sedikitpun? Mengapa engkau lebih
mengkhawatirkan atasanmu yang juga rizkinya bergantung kepada kemurahan Allah?
Apakah
jika engkau lebih memilih untuk tetap tidak berjilbab, maka atasanmu itu akan
menjamin dirimu menjadi calon penghuni Surga? Ataukah Allah ‘Azza wa Jalla yang
telah menurunkan perintah ini kepada Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam
yang akan mengadzabmu akibat kedurhakaanmu itu? Pikirkanlah saudariku…
Pikirkanlah hal ini baik-baik!
7. “Jilbab itu bikin gerah, dan
aku tidak kuat kepanasan.”
Saudariku…
Panas mentari yang engkau rasakan di dalam dunia ini tidak sebanding dengan
panasnya Neraka yang akan kau terima kelak, jika engkau masih belum mau untuk
berjilbab. Sungguh, dia tidak sebanding. Apakah engkau belum mendengar firman
Allah yang berbunyi,
“Katakanlah:
‘(Api) Neraka Jahannam itu lebih sangat panas. Jika mereka mengetahui.'”
(Qs. At-Taubah: 81)
(Qs. At-Taubah: 81)
Dan
sabda Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam yang artinya,
“Sesungguhnya
api Neraka Jahannam itu dilebihkan panasnya (dari panas api di bumi sebesar)
enam puluh sembilan kali lipat (bagian).”
[Hadits shahih. Riwayat Muslim (no. 2843) dan Ahmad (no.
8132). Lihat juga Shahih Al-Jaami‘
(no. 6742), dari Shahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu]
(no. 6742), dari Shahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu]
Manakah
yang lebih sanggup engkau bersabar darinya, panasnya matahari di bumi ataukah
panasnya Neraka di akhirat nanti? Tentu engkau bisa menimbangnya sendiri…
8. “Jilbab itu pilihan. Siapa
yang mau pakai jilbab silakan, yang belum mau juga gak apa-apa. Yang penting
akhlaknya saja benar.”
Duhai
saudariku…
Sepertinya engkau belum tahu apa yang dimaksud dengan akhlak mulia itu. Engkau
menafikan jilbab dari cakupan akhlak mulia, padahal sudah jelas bahwa jilbab
adalah salah satu bentuk perwujudan akhlak mulia. Jika tidak, maka Allah tidak
akan memerintahkan kita untuk berjilbab, karena dia tidak termasuk ke dalam
akhlak mulia.
Pikirkanlah
olehmu baik-baik, adakah Allah memerintahkan hamba-Nya untuk berakhlak buruk?
Atau adakah Allah mengadakan suatu ketentuan yang tidak termasuk dalam kebaikan
dan mengandung manfaat yang sangat besar? Jika engkau menjawab tidak ada, maka
dengan demikian engkau telah membantah pendapatmu sendiri dan engkau telah
setuju bahwa jilbab termasuk ke dalam sekian banyak akhlak mulia yang harus
kita koleksi satu persatu. Bukankah demikian?
Ketahuilah
olehmu, keputusanmu untuk tidak mengenakan jilbab akan membuat Rabb-mu menjadi
cemburu, sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
bersabda yang artinya,
“Sesungguhnya
Allah itu cemburu dan seorang Mukmin juga cemburu. Adapun cemburunya Allah
disebabkan oleh seorang hamba yang mengerjakan perkara yang diharamkan
oleh-Nya.” [Hadits
shahih. Riwayat Bukhari (no. 4925) dan Muslim (no. 2761)]
9. “Sepertinya Allah belum
memberiku hidayah untuk segera berjilbab.”
Saudariku…
Hidayah Allah tidak akan datang begitu saja, tanpa engkau melakukan apa-apa.
Engkau harus menjalankan sunnatullah, yakni dengan mencari sebab-sebab
datangnya hidayah tersebut.
Ketahuilah
bahwa hidayah itu terbagi menjadi dua, yaitu hidayatul bayan dan hidayatut
taufiq. Hidayatul bayan adalah bimbingan atau petunjuk kepada
kebenaran, dan di dalamnya terdapat campur tangan manusia. Adapun hidayatut
taufiq adalah sepenuhnya hak Allah. Dia merupakan peneguhan, penjagaan,
dan pertolongan yang diberikan Allah kepada hati seseorang agar tetap dalam
kebenaran. Dan hidayah ini akan datang setelah hidayatul bayan
dilakukan.
Janganlah
engkau jual kebahagiaanmu yang abadi dalam Surga kelak dengan dunia yang fana
ini. Buanglah jauh-jauh perasaan was-wasmu itu. Tempuhlah usaha itu dengan
berjilbab, sementara hatimu terus berdo’a kepada-Nya, “Allahummahdini wa
saddidni. Allahumma tsabit qolbi ‘ala dinik (Yaa Allah, berilah aku
petunjuk dan luruskanlah diriku. Yaa Allah, tetapkanlah hatiku di atas
agama-Mu).”
Komentar
Posting Komentar